Indonesia memiliki dua cerita sejarah. Pertama, Indonesia kental dengan cerita sejarah masa kerajaan yang mungkin sudah menjadi awal peradaban di Indonesia. Kedua, Indonesia kental dengan cerita penjajahan bangsa Eropa selama 350 tahun bahkan lebih menjajah negeri ini dan meninggalkan begitu banyak sisa-sisa sejarah yang bertahan sampai saat ini.
Salah satu sisa sejarah masa kerajaan adalah keraton atau istana kerajaan yang masih berdiri megah di daerah-daerah kerajaan seperti Solo dan Jogjakarta dengan cerita kerajaan Majapahit, juga Pontianak dan Medan dengan cerita kerajaan Melayu.
Keraton Jogja dan Keraton Solo memiliki ciri bangunan yang hampir sama. Hanya saja Keraton Jogja yang masih dijadikan pusat pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta sangat mencirikan budaya dan tradisi suku jawa, sedangkan pada Keraton Solo ada beberapa sentuhan Eropa pada bangunannya. Tidak banyak sentuhan Eropa di bangunan Keraton Solo, hanya ada beberapa patung putih berbentuk perempuan Eropa dengan kain dan hiasan kepala yang sangat khas. Ada juga meriam dan mobil antik yang diparkir berdampingan dengan kereta kencana khas Solo yang memiliki hiasan yang sangat mencirikan budaya Jawa. Konon Sultan Pakubuwoni II pernah menyerahkan kedaulatan kerajaan pada pemerintah Belanda pada 1749. Inilah yang menyebabkan adanya beberapa sentuhan Eropa didalam Keraton Solo. Tidak hanya para Sultan Pakubuwono yang pernah berpengaruh didalam keraton, tapi juga pemerintah Belanda.
Didalam keraton juga ada beberapa kereta kencana yang mirip dengan kereta kencana yang ada dalam dongeng. Kereta kencana itu berhiaskan ukiran-ukiran emas dengan roda yang juga berwarna emas. Benar-benar akan membuat penumpangnya merasa seperti raja dan ratu. Kereta kencana ini masih digunakan untuk berkeliling kota saat diadakan festival malam sat sura, bersamaan dengan diaraknya kerbau albino di Solo yang juga dianggap sebagai titisan Raden Patah oleh masyarakat Solo. Kerbau-kerbau titisan raden patah ini sangat dihormati dan dimuliakan oleh seluruh warga Solo. Mereka dineri makanan terbaik dan juga diberi perawatan terbaik setiap harinya. Mereka bukan kerbau yang biasa digunakan untuk membajak sawah, mereka dirawat dan dimanjakan setiap harinya untuk diarak pada malam satu sura, festival terbesar di kota Solo. Kerbau-kerbau ini bisa ditemui di alun-alun kota Solo dan juga di sekitar Keraton Solo.
Ada yang lain di Keraton Solo, yaitu pasir yang menghampar di pelataran Keraton. Pasir ini konon diambil langsung dari Pantai Parang Kusumo dan diangkut untuk ditempatkan di pelataran keraton. Ada suatu keharusan bahwa pasir di pelataran Keraton Solo harus diambil dari Pantai Parang Kusumo. Ini adalah rahasia antara Keraton Solo dan Laut Kidul. Saat memasuki Keraton, anda harus melepas alas kaki untuk menghormati para raja. Pada jaman kerajaan, hanya para rajalah yang boleh mengenakan alas kaki.
Keraton yang disebut-sebut sebagai saudara kandung Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat di Yogyakarta ini juga masih ditinggali oleh keluarga kerajaan. Hanya saja, pemerintahannya tidak dijalankan seperti di Keraton Jogja. Keraton Solo lebih digunakan sebagai tempat wisata sejarah masa kerajaan sekaligus sejarah masa penjajahan Belanda di Indonesia. Di setiap sudut Keraton Solo terlihat banyak simbol-simbol PBX. Hal ini menggambarkan bahwa Sultan Pakubuwono X lah yang paling berjaya di masa pemerintahannya sepanjang sejarah kerajaan di Solo. Simbol-simbol Sulta Pakubuwono lain juga terlihat di beberapa sudut, hanya saja tidak sebanyak simbol PBX. Simbol-simbol PBX ini terlihat di setiap sudut bangunan keraton juga di sudut-sudut alun-alun Solo.