Di Bali, ada sebuah tradisi adat yang masih dijalankan oleh masyarakat Bali sampai saat ini, namanya Tradisi Adat Makotek. Tradisi ini juga dikenal dengan Ngrebeg. Makotek merupakan salah satu warisan budaya nenek moyang dari masa kejayaan Kerajaan Mengwi. Bahkan, wilayah kekuasaan Kerajaan ini sudah sampai ke Jawa Timur. Jika kebanyakan tradisi adat dilakukan setiap tahun sekali, Makotek ini dilakukan setiap 6 bulan sekali yaitu pada setiap Sabtu yang bertepatan dengan Hari Raya Kuningan atau masyarakat di sini menyebutkan saat Saniscara wuku Kuningan. Tradisi ini masih dilakukan di Munggu, Badung.
Sebenarnya, tradisi Makotek ini adalah perayaan masyarakat Bali untuk memperingati kemenangan Kerajaan Mengwi saat berhasil mengalahkan Kerajaan Blambangan dari Jawa Timur, tepatnya dari Banyuwangi. Akhirnya, tradisi ini pun masih sering dirayakan sampai sekarang oleh sebagian masyarakat di Bali. Namun, perayaan Makotek sekarang ini lebih fokus pada permohonan masyarakat kepada Tuhan untuk memohon belas kasih agar masyarakat di sini terhindar dari wabah penyakit dan segala bahaya yang dapat membahayakan kampung Munggi.
Sebelum tradisi Makotek ini dimulai, biasanya para peserta Makotek berdoa bersama terlebih dulu di sebuah pura desa. Para peserta tersebut akan diperciki dengan air. Selain itu, peserta yang mengikuti Makotek ini ternyata juga tidak boleh sembarang orang. Para peserta yang ikut harus memenuhi persyaratan yaitu istrinya sedang tidak melahirkan atau keluarganya tidak ada yang sedang meninggal.
Nama Makotek sendiri juga memiliki sejarah. Disebut Makotek karena bermula dari suara-suara kayu yang saling bertumbukkan ketika kayu-kayu disatukan menjadi bentuk yang mirip gunung menyudut ke atas. Suara-suara kayu yang digabung tersebut berbunyi tek tek tek, sehingga akhirnya dinamai Makotek. Sebelum diberi nama Makotek, tradisi ini dulunya bernama tradisi grebek yang berarti saling mendorong. Dalam tradisi masyarakat Bali, Makotek seperti pertunjukkan perang-perangan. Makotek diikuti oleh ratusan kaum pria yang berasal dari Munggu. Peserta Makotek ini rata-rata berusia 13 sampai 60 tahun.
Di dalam prosesi Tradisi adat Makotek ini, ratusan kayuk-kayu masing-masing dipegang oleh oleh para peserta laki-laki dengan menggabungkan kayu sampai panjangnya 3,5 meter. Kayu-kayu tersebut berasal dari pohon pulet. Kayu-kayu yang digabung tersebut nantinya berbentuk seperti kerucut tang runcing di bagian ujungnya. Salah satu pemuda yang merasa tertantang bisa menaiki kayu-kayu yang sudah digabungkan tersebut sampai berada di puncak dengan posisi berdiri.
Sementara itu di sisi lain juga terdapat ratusan laki-laki yang menyusun kayu-kayu menjadi bentuk yang serupa. Gunungan kayu tersebut juga akan dinaiki oleh seorang pemuda dari perwakilan para peserta tersebut. Akhirnya, terdapat dua kelompok yang masing-masing memiliki gunungan kayu. Gunungan kayu tersebut dipertemukan. Para pemuda yang berdiri di atas kayu ini pun berperang seperti seorang panglima perang.
Tradisi adat Makotek ini dianggap cukup berbahaya karena banyak peserta yang jatuh dari ujung kayu yang tinggi. Namun, hal tersebut ternyata tidak membuat warga di Munggu menghentikan tradisi ini. Bahkan banyak peserta yang merasa tertantang untuk mencoba naik dan berperang dari atas puncak gunungan kayu. Selain itu, banyak juga peserta yang mencoba berulang kali untuk naik. Tradisi Makotek biasanya diadakan pada sore hari. Jika perayaan tradisi ini sedang berlangsung, biasanya sampai menutup jalan hingga beberapa jam.
Tradisi Makotek selain menjadi perayaan warga desa Munggu juga menawarkan daya tarik tersendiri bagi para wisatawan baik wisatawan lokal maupun mancanegara. Buktinya, setiap kali tradisi ini berlangsung, banyak wisatawan yang menyempatkan diri untuk melihatnya.