Angklung adalah alat musik tradisional multitonal yang berkembang pesat di daratan Sunda atau Jawa Barat. Warisan budaya ini terbuat dari potongan bambu yang diolah sedemikian rupa. Jika diperhatikan lebih dalam, alat musik ini terdiri dari 2 hingga 4 tabung bambu yang kemudian dirangkai menggunakan rotan menjadi satu kesatuan utuh.
Bambu kemudian diukir untuk mendapatkan aksen lebih mendetail, serta dipotong dengan ukuran berbeda untuk menghasilkan nada berbeda satu sama lain. Para pengrajin harus memastikan setiap tabung bambu mampu menghasilkan suara berbeda, Anda bisa mengeceknya dengan menggoyangkan bingkai bambunya ke kiri dan ke kanan.
Pemberian namanya sendiri diambil dari bahasa Sunda “angkleung angkleungan”, yang berarti gerakan para pemain alat musik tersebut serta suara yang dihasilkannya. Namun masih jarang yang mengetahui bahwa sebenarnya, warisan budaya satu ini merupakan pengembangan alat musik yang bernama calung.
Calung sendiri merupakan alat musik terbuat dari tabung bambu berkualitas. Meski bahan pembuatannya serupa, namun yang membedakan keduanya terletak dari cara memainkan dan nada yang dihasilkan. Jika angklung dimainkan dengan cara digoyangkan dan mampu menghasilkan sejumlah nada, maka calung dimainkan dengan cara dipukul dan hanya berbunyi satu nada.
Sebelum dikenal sebagai alat musik seperti sekarang, ternyata dulunya alat ini dimanfaatkan pada ritual keagamaan. Masyarakat dulunya menggunakannya sebagai cara mengundang Dewi Sri, yang merupakan sosok dewi padi dan dipercaya melambangkan kemakmuran. Dengan memainkan alat musik ini, masyarakat berharap Dewi Sri tertarik turun ke bumi serta memberikan kesuburan.
Ritual keagamaan ini telah dimulai jauh sebelum zaman Hindu masuk ke tanah air. Diperkirakan pada abad ke 12 hingga abad ke 16, Kerajaan Sunda menggunakan alat berbentuk tabung ini sebagai bagian dari perayaan khususnya acara bercocok tanam. Alat musik ini juga dijadikan sebagai pemicu semangat perang masyarakat sekitar.
Dalam pembuatannya sendiri, masyarakat akan menggunakan jenis bambu hitam atau dikenal awi wulung dan bambu ater atau awi temen. Bambu tersebut akan berubah warna menjadi kuning keputihan ketika batang bambunya mulai kering. Besar kecilnya ukuran bambu juga mempengaruhi tinggi rendahnya nada yang dihasilkan angklung.
Cara memainkannya cukup mudah, dimana Anda hanya perlu memegang kerangka alat musik tersebut dengan salah satu tangan, sedangkan bagian tangan lainnya digunakan untuk menggoyangkan bagian bawah agar rangkaian bambu tersebut menghasilkan nada. Setidaknya ada tiga teknik yang bisa digunakan untuk memainkannya.
Ketiga teknik tersebut terdiri dari Centak (dimainkan dengan cara disentak), Kulurung (dengan cara digetarkan), serta Tengkep (dimainkan dengan menggetarkan satu diantara sekian tabung, sementara tabung lainnya dibiarkan diam). Karena setiap tabung mampu menghasilkan nada berbeda, maka cara memainkan satu unitnya tentu membutuhkan banyak orang.
Sekumpulan orang yang ikut berpartisipasi sebagai pengiring nada lagu, nantinya akan dipimpin seorang konduktor handal di bidangnya. Setidaknya satu orang akan memegang satu hingga empat alat musik sekaligus. Semua alat musik yang dipegang satu orang tentu menghasilkan nada berbeda. Selanjutnya konduktor bertugas untuk menyiapkan partitur lagu yang harus dimainkan.
Kian perkembangan zaman, alat musik ini tidak hanya difungsikan sebagai alat musik untuk perayaan bercocok tanam semata. Sebab saat ini warisan budaya tersebut telah digunakan sebagai salah satu kesenian musik yang kerap muncul di pertunjukkan orkestra. Hal ini menandakan bahwa alat musik tradisional khas Indonesia dapat bersaing dengan alat musik lainnya.
Bahkan alat musik ni telah diakui UNESCO sebagai warisan kebudayaan dunia yang bisa dikolaborasikan dengan aneka jenis instrumen tradisional serta budaya dari negara lain. Saung Udjo adalah salah satu tempat yang hingga kini masih melestarikan kebudayaan angklung . Disini pengunjung bisa melihat sekaligus belajar proses pembuatannya secara langsung.